Selasa, 14 April 2020

STRATEGI DAN UPAYA PENANGANAN COVID-19 PERSPEKTIF POLITIK HUKUM.



Oleh : SALMAN AL FARIZI.
Dalam  penanganan COVID-19. Apa yang kita lihat kesesuaian antara indra dan realita, tidak sinkron antara pihak, pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. sehingga mengalami tumpah-tindih untuk menyelesaikan persoalan COVID-19. Padahal dalam UU karantina tahun 2018  tentang karantina wilayah ( LOCKDOWN ), maka konsekuensi logisnya adalah  kepala Daerah  melakukan karantina wilayah atas instruksi dari pemerintahan pusat, baik sebagian maupun keseluruhan. jikalau pemerintahan daerah memakai UU  Diskresi-pun dengan alasan darurat dll, tapi perlu kita ketahui bahwa metode tentang,  Karantina wilayah Undang-Undang 2018. sudah kongkrit, bahwa yang melakukan karantina wilayah pemerintahan Daerah atas, intruksi atau kordinasi  dari pemerintahan pusat. politik hukum nya kenapa yang melakukan pemerintah pusat bukan pemerintah daerah? Karena dalam proses karantina wilayah semua akses keluar – masuk wilayah dibatasi. Kemudian untuk menjamin kebutuhan logistik masyarakat yang berada di wilayah karantina, pemerintah pusat harus menjamin itu. Karena kalau pemerintahan daerah yang melakukan karantina wilayah itu , secara APBD pemerintah daerah terbatas. Oleh karena itu wewenang karantina wilayah harus berdasarkan intsruksi dari pemerintahan pusat.
Upaya untuk penanganan COVID-19, boleh dilakukan untuk wilayah yang sudah dalam katagori zona merah. Tapi hari ini masyarakat seakan-akan phobia dengan keadaan ini, akhirnya daerah-daerah yang belum terpapar virus corona ini melakukan tindakan berupa lockdown. Seperti menutup masjid, gereja, akses bandara, pelabuhan itu ditutup semua. Misalnya saja RT – RW sampai menutup akses jalannya, padahal RT-RW ini virusnya belum masuk ke area ini. karena syarat indikator lockdown itu ingin membatasi akses keluar-masuk wilayah tertentu, karena memang di wilayah itu tingkat penyebarannya sudah meningkat. Tapi daerah-daerah yang belum terkena zona merah gimana? saya rasa itu tidak perlu melakukan lockdown, tetapi lebih diperketat arus keluar-masuk wilayah, sehingga proses penyebaran itu bisa diketahui. Nah ketika itu diperketat di dalam suatu wilayah yang belum ada kasus virus corona, maka orang-orang yang ada di wilayah tersebut bisa melakukan aktivitas biasa, tidak perlu adanya sosial distancing. Karena syarat untuk melakukan sosial distancing atau physical distancing syaratnya itu kecuali harus ada virus dulu, baru itu dilakukan sosial distancing penutupan tempat-tempat ibadah seperti masjid dan gereja. Ya kalau virusnya belum ada ya tidak perlu membatasi akses keluar-masuk, cukup diperketat akses keluar-masuknya. Orang-orang yang keluar atau masuk di wilayah harus dipantau secara ketat. Ketika dia menunjukan eksistensi yang mempertandakan gejala virus corona dia harus diamankan dan tidak boleh masuk ke daerah itu dan itu berupa upaya penanganan, nah tapi bagi daerah yang zona merah ya wajar aja di lakukan lockdown, tapi kalau belum ada COVID-19 tidak perlu melakukan lockdown dengan sepanik itu.  banyak sekali daerah atau kelurahan-kelurahan yang menutup akses jalan keluar- masuk,  seperti di jogja mereka sampai  phobia dengan istilah lockdown atau COVID-19 sehingga membuat mereka panik, padahal dalam akal kita, masih banyak cara  untuk menangani COVID-19. di kerenakan panik sehingga mengadopsi cara yang pragmatis padahal belum terjadi udah lockdown.
Nah kita melihat deskripsi dalam penanganan COVID-19 di negara korea selatan dengan tingkatan yang mencapai 8.652 hingga hari ini. tapi mekanisme  untuk penanganan COVID-19 di korea selatan sangat sistematis walaupun tidak ada acara lockdown dalam internal negaranya tapi mereka fokus pada karantina pada pasien yang terinfeksi COVID-19 dan orang-orang yang melakukan kontak langsung.  dengan sembuh yang mengalami peningkatan  dan  yang meninggal dunia hanya 9%.ini menjadi pelajaran buat kita,lalu bagaimana instrument nya untuk penanganan COVID-19. Mereka menyediakan verifikasi informasi kontak hingga mengisi kuesioner kesehatan di bandara internasional Incheon.selain itu juga pemerintahan juga mengaplikasikan program pengujian menskrining lebih banyak orang per-kapital dan mereka mampu mengimplementasikan pemeriksaaan hingga 15.000 tes perhari, dan itu pun gratis.pengujian COVID-19 tersedia di ratusan klinik dan periksa massa. Peningkatan komunikasi public dan penggunaan teknologi . pemerintah pun memberikan ruang 50 stasiun baru dengan pengujian yang bersifat DRIVER-THROUGH.sehingga apa semakin banyak orang yang periksa,di situ kita bisa mengkelompokkan mana yang positif covid-19 mana ODB jadi perlu kita sadari strategi dan upaya yang  menjadi tugas kita adalah mengidentifikasi dan menganalisa untuk mengatasi permasalah COVID-19 ini, sebenarnya kita bisa menjadikan tolak ukur negara korea selatan yang berupaya untuk bisa mengatasi persoalan COVID-19 di internal negaranya.  menurut KIM kebijakan konvensional dan memaksa isolasi wilayah yang terinfeksi akan merusak semangat demokrasi. dan apa yang menjadi implementasi dari pemerintahan dan masyarakat korea selatan, menjadi contoh atau pelajaran buat kita yang ada di Indonesia, kerena dampak dari lockdown ini kensekuensi logisnya adalah penghambatan ekonomi bahkan bisa mengalami inflasi mata uang dengan apa yang sekarang kita menyaksikan nilai mata uang dolar Amerika naik. Tapi untuk di Indonesia perlunya  upaya  mengidentifikasi dan menganalisa COVID-19 dengan menggambungkan masyarakat dan pemerintahan. dan untuk daerah yang di katagori zona merah COVID-19 boleh di lakukan lockdown tapi daerah yang belum ada gejalah corona cukup di perketat akses keluar-masuk aja dengan eksplisit tidak perlu lockdown.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.7 Tahun 2020 Tentang GUGUS tugas mempercepat penanganan corona virus DISEASE 2019(COVID-19) dengan pertimbangan Presiden  bahwasanya, penyebaran corona atau Virus COVID-19 di dunia cenderung meningkat dari waktu ke waktu, menimbulkan banyak korban dan kerugian telah berimplikasi pada aspek Sosial, Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat. dengan fenomenalogi yang ada , sehingga memunculkan metodelogi dengan instrument Hukum sebagai alat untuk mengatur  kestabilan keadaan.jadi untuk mempercepat penanganan corona COVID-19 semua instasi pemerintahan dan non pemerintahan  dapat melakukan tugas dan wewenangan dalam proses pananganan COVID-19 ini kan menunjukan eksestensi bahwa dalam kesatuan pemerintahan bisa melakukan tugas nya sebagai tanggung jawab dalam beban moral yang besar, sesuai dengan negara kita sistemnya demokrasi yang implementasinya berdasarkan  instrument Hukum. Dengan Konsensus ini berdasarkan legitimasi untuk komporatif keadaan,  maka ini bentuk dari interpretasi implisit untuk menjadikan upaya capat penanganan COVID-19.
Perlu kita sadari bahwa COVID-19 adalah virus jahat yang mampu meninabobokan banyak nyawa di atas tanah, dan mampu melumpuhkan ekonomi negara. tapi kita gak usah perlu takut, karena semua yang bersifat materi akan habis di telan materi itu sendiri, ketakutan itu hanya ada di akal pikiran  kita,  coba kamu balikan ketakutan menjadi berani dan satu ketakutakan kita hanya pada Tuhan bukan pada CORONA ”jika COVID-19 datang hanya sebagai cobaan dari Tuhan, maka Indonesia adalah salah satu negara yang di sayang  Tuhan, jangan kamu khawatir dengan dogma CORONA. kerena menghamba ketakutan  pada corona akan memperpanjang barisan perbudakaan, jaga keutuhan demokrasi seperti kamu menjaga diri mu sendiri dan CORONA itu fiksi tapi  bahaya sebagai fakta”.


2 komentar:

Syair Asrul Sani

  Syair Asrul Sani ini berisi tentang gambaran kondisi bangsa kita dengan semangat perjuangan  Founding fathers Seperti Soekarno atau sering...