Oleh : SALMAN AL FARIZI.
Dalam penanganan COVID-19.
Apa yang kita lihat kesesuaian antara indra dan realita, tidak sinkron antara
pihak, pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. sehingga mengalami
tumpah-tindih untuk menyelesaikan persoalan COVID-19. Padahal dalam UU
karantina tahun 2018 tentang karantina
wilayah ( LOCKDOWN ), maka konsekuensi logisnya adalah kepala Daerah melakukan karantina wilayah atas instruksi
dari pemerintahan pusat, baik sebagian maupun keseluruhan. jikalau pemerintahan
daerah memakai UU Diskresi-pun dengan
alasan darurat dll, tapi perlu kita ketahui bahwa metode tentang, Karantina wilayah Undang-Undang 2018. sudah
kongkrit, bahwa yang melakukan karantina wilayah pemerintahan Daerah atas, intruksi
atau kordinasi dari pemerintahan pusat.
politik hukum nya kenapa yang melakukan pemerintah pusat bukan pemerintah
daerah? Karena dalam proses karantina wilayah semua akses keluar – masuk
wilayah dibatasi. Kemudian untuk menjamin kebutuhan logistik masyarakat yang
berada di wilayah karantina, pemerintah pusat harus menjamin itu. Karena kalau
pemerintahan daerah yang melakukan karantina wilayah itu , secara APBD
pemerintah daerah terbatas. Oleh karena itu wewenang karantina wilayah harus
berdasarkan intsruksi dari pemerintahan pusat.
Upaya untuk penanganan COVID-19, boleh dilakukan untuk wilayah yang
sudah dalam katagori zona merah. Tapi hari ini masyarakat seakan-akan phobia
dengan keadaan ini, akhirnya daerah-daerah yang belum terpapar virus corona ini
melakukan tindakan berupa lockdown. Seperti menutup masjid, gereja, akses
bandara, pelabuhan itu ditutup semua. Misalnya saja RT – RW sampai menutup
akses jalannya, padahal RT-RW ini virusnya belum masuk ke area ini. karena
syarat indikator lockdown itu ingin membatasi akses keluar-masuk wilayah
tertentu, karena memang di wilayah itu tingkat penyebarannya sudah meningkat.
Tapi daerah-daerah yang belum terkena zona merah gimana? saya rasa itu tidak
perlu melakukan lockdown, tetapi lebih diperketat arus keluar-masuk wilayah,
sehingga proses penyebaran itu bisa diketahui. Nah ketika itu diperketat di
dalam suatu wilayah yang belum ada kasus virus corona, maka orang-orang yang
ada di wilayah tersebut bisa melakukan aktivitas biasa, tidak perlu adanya
sosial distancing. Karena syarat untuk melakukan sosial distancing atau
physical distancing syaratnya itu kecuali harus ada virus dulu, baru itu
dilakukan sosial distancing penutupan tempat-tempat ibadah seperti masjid dan
gereja. Ya kalau virusnya belum ada ya tidak perlu membatasi akses
keluar-masuk, cukup diperketat akses keluar-masuknya. Orang-orang yang keluar
atau masuk di wilayah harus dipantau secara ketat. Ketika dia menunjukan
eksistensi yang mempertandakan gejala virus corona dia harus diamankan dan
tidak boleh masuk ke daerah itu dan itu berupa upaya penanganan, nah tapi bagi
daerah yang zona merah ya wajar aja di lakukan lockdown, tapi kalau belum ada
COVID-19 tidak perlu melakukan lockdown dengan sepanik itu. banyak sekali daerah atau kelurahan-kelurahan
yang menutup akses jalan keluar- masuk,
seperti di jogja mereka sampai
phobia dengan istilah lockdown atau COVID-19 sehingga membuat mereka
panik, padahal dalam akal kita, masih banyak cara untuk menangani COVID-19. di kerenakan panik
sehingga mengadopsi cara yang pragmatis padahal belum terjadi udah lockdown.
Nah kita melihat deskripsi dalam penanganan COVID-19 di negara
korea selatan dengan tingkatan yang mencapai 8.652 hingga hari ini. tapi mekanisme
untuk penanganan COVID-19 di korea
selatan sangat sistematis walaupun tidak ada acara lockdown dalam internal
negaranya tapi mereka fokus pada karantina pada pasien yang terinfeksi COVID-19
dan orang-orang yang melakukan kontak langsung.
dengan sembuh yang mengalami peningkatan
dan yang meninggal dunia hanya 9%.ini
menjadi pelajaran buat kita,lalu bagaimana instrument nya untuk penanganan
COVID-19. Mereka menyediakan verifikasi informasi kontak hingga mengisi
kuesioner kesehatan di bandara internasional Incheon.selain itu juga
pemerintahan juga mengaplikasikan program pengujian menskrining lebih banyak
orang per-kapital dan mereka mampu mengimplementasikan pemeriksaaan hingga
15.000 tes perhari, dan itu pun gratis.pengujian COVID-19 tersedia di ratusan
klinik dan periksa massa. Peningkatan komunikasi public dan penggunaan
teknologi . pemerintah pun memberikan ruang 50 stasiun baru dengan pengujian
yang bersifat DRIVER-THROUGH.sehingga apa semakin banyak orang yang periksa,di
situ kita bisa mengkelompokkan mana yang positif covid-19 mana ODB jadi perlu
kita sadari strategi dan upaya yang
menjadi tugas kita adalah mengidentifikasi dan menganalisa untuk
mengatasi permasalah COVID-19 ini, sebenarnya kita bisa menjadikan tolak ukur
negara korea selatan yang berupaya untuk bisa mengatasi persoalan COVID-19 di
internal negaranya. menurut KIM
kebijakan konvensional dan memaksa isolasi wilayah yang terinfeksi akan merusak
semangat demokrasi. dan apa yang menjadi implementasi dari pemerintahan dan
masyarakat korea selatan, menjadi contoh atau pelajaran buat kita yang ada di
Indonesia, kerena dampak dari lockdown ini kensekuensi logisnya adalah
penghambatan ekonomi bahkan bisa mengalami inflasi mata uang dengan apa yang
sekarang kita menyaksikan nilai mata uang dolar Amerika naik. Tapi untuk di
Indonesia perlunya upaya mengidentifikasi dan menganalisa COVID-19
dengan menggambungkan masyarakat dan pemerintahan. dan untuk daerah yang di
katagori zona merah COVID-19 boleh di lakukan lockdown tapi daerah yang belum
ada gejalah corona cukup di perketat akses keluar-masuk aja dengan eksplisit
tidak perlu lockdown.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.7 Tahun 2020 Tentang GUGUS
tugas mempercepat penanganan corona virus DISEASE 2019(COVID-19) dengan
pertimbangan Presiden bahwasanya,
penyebaran corona atau Virus COVID-19 di dunia cenderung meningkat dari waktu
ke waktu, menimbulkan banyak korban dan kerugian telah berimplikasi pada aspek
Sosial, Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat. dengan fenomenalogi yang ada , sehingga
memunculkan metodelogi dengan instrument Hukum sebagai alat untuk mengatur kestabilan keadaan.jadi untuk mempercepat
penanganan corona COVID-19 semua instasi pemerintahan dan non pemerintahan dapat melakukan tugas dan wewenangan dalam
proses pananganan COVID-19 ini kan menunjukan eksestensi bahwa dalam kesatuan
pemerintahan bisa melakukan tugas nya sebagai tanggung jawab dalam beban moral
yang besar, sesuai dengan negara kita sistemnya demokrasi yang implementasinya
berdasarkan instrument Hukum. Dengan
Konsensus ini berdasarkan legitimasi untuk komporatif keadaan, maka ini bentuk dari interpretasi implisit
untuk menjadikan upaya capat penanganan COVID-19.
Perlu kita sadari bahwa COVID-19 adalah virus jahat yang mampu
meninabobokan banyak nyawa di atas tanah, dan mampu melumpuhkan ekonomi negara.
tapi kita gak usah perlu takut, karena semua yang bersifat materi akan habis di
telan materi itu sendiri, ketakutan itu hanya ada di akal pikiran kita,
coba kamu balikan ketakutan menjadi berani dan satu ketakutakan kita
hanya pada Tuhan bukan pada CORONA ”jika COVID-19 datang hanya sebagai cobaan
dari Tuhan, maka Indonesia adalah salah satu negara yang di sayang Tuhan, jangan kamu khawatir dengan dogma
CORONA. kerena menghamba ketakutan pada
corona akan memperpanjang barisan perbudakaan, jaga keutuhan demokrasi seperti
kamu menjaga diri mu sendiri dan CORONA itu fiksi tapi bahaya sebagai fakta”.
Bagus dinda
BalasHapusMakasih kanda
BalasHapus